Langsung ke konten utama

MEMILIH JALAN EKONOMI ISLAM


Trimulato[1]

trimsiuii@yahoo.co.id


[1] Alumni Ekonomi Islam Magister Studi Islam Universtas Islam Indonesia Angkatan 2011/ Dosen Prodi Perbankan Syariah Universitas Muhammadiyah Parepare.


Pada dasarnya setiap manusia selalu menginginkan kehidupannya di dunia ini dalam keadaan bahagia, baik secara material maupun spiritual, individual maupun sosial. Namu dalam praktiknya kebahagiaan multi dimensi ini sangat sulit diraih karena keterbatasan kemampuan manusia dalam memahami dan menerjemahkan keinginannya secara komprehensif, keterbatasan dalam menyeimbangkan antara aspek kehidupan maupun keterbatasan sumber daya yang bisa digunakan untuk meraih kebahagiaan tersebut. Masalah ekonomi hanyalah merupakan satu bagian dari aspek kehidupan yang diharapkan akan membawa manusia kepada tujuan hidupnya.(P3EI UII:2008:1).
Islam sebagai agama yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat ibadah mahdah, hubungan manusia dengan sang pencipta Allah swt, maupun yang bersifat ibadah muamalah, yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia. Salah satu yang menjadi yang diatur dalam islam saat ini tentang ekonomi, yang beberapa ini makin sering terdengar, makin sering didiskusikan, dan makin banyak diminati saat-saat ini.
Dalam pandangan Islam, eksistensi kehidupan manusia tidak terlepas dari naluri kehidupan manusia yang dibawa sejak lahir terdiri dari 3 hal yaitu: (Gita:2006:7)
1.                   Naluri mempertahankan diri (ghorizatul baqa)
Naluri memperetahankan diri untuk kelangsungan hidup diberikan Allah kepada semua makhluk hidup termasuk manusia.
2.                   Naluri melangsungkan keturunan (ghorizatun nau’)
Naluri untuk melangsungkan keturunan diberikan Allah kepada semua makhluk hidup sama dengan naluri mempertahankan diri.
3.                   Naluri beragama (ghorizatun taddayun)
Naluri beragama hanya diberikan kepada ciptaan Allah makhluk terbaik di muka bumi yang diberi nama manusia. Bukti bahwa manusia memiliki naluri beragama adalah ketika terjadi kondisi yang sangat menakutkan maka dalam hati terjadi kondisi yang sangat menakutkan maka dalam hati mengatakan adanya yang maha kuasa di muka bumi ini dan meminta perlindungan dari-Nya.
Untuk mengetahui apakah suatu ucapan atau perbuatan dicintai dan diridhai Allah  atau tidak, kita harus merujuk kepada alqur’an dan as-sunnah, berdasarkan bimbingan ulama ahlus sunnah waljama’ah , bukan berdasarkan pendapat atau kemauan sendiri. Serta harus diingat bahwa ucapan dan perbuatan tersebut dilakukan dengan ikhlas, mengharapkan semata ridha dari Allah. Termasuk dalam hal mu’amalah telah diatur agar terhidar dari hal yang dilarang. Muamalah dengan pengertian pergaulanhidup tempat setiap orang melakukan perbuatan dalam hubungan dengan orang lain yang menimbulkan hubungan hak dan kewajiban merupakan bagian terbesar dalam aspek kehidupan manusia. Aktivitas muamalah hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Pemahaman yang lebih sempit mengenai muamalah adalah aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan manajemen dan bisnis. Perkembangan ekonomi syariah harus terus diperjuangkan, tidak hanya dari segi isi dan objeknya, tetapi juga sisi subjek pelakunya. Para pelaku ekonomi syariah haruslah setiap muslim yang memahami hakikat sistem ekonomi Islam, adalah pribadi yang secara lahir batin berjuang menegakkan hukum-hukum Allah khususnya di bidang ekonomi. Diantara kiat untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah bagi para pelaku ekonomi syariah adalah dengan senatiasa meningkatkan nilai-nilai keyakinan dan akidah.(Fahmi:2014:49).
Ekonomi Islam dibangun atas dasar agama islam, karenanya ia merupakan bagian tak terpisahkan integral dari agama islam. Sebagai derivasi dari agama islam, ekonomi islam akan mengikuti agama islam dalam berbagai aspeknya. Islam adalah sistem kehidupan (way of live) yang akan membawa manusia ke hal yang lebih baik sesuai dengan tujuan hidupnya. Ekonomi islam dibangun untuk tujuan suci, dituntun oleh ajaran islam dan dicapai dengan cara-cara yang ditentukan pula oleh ajaran islam. Oleh karena itu, kesemua hal tersebut saling terkait dan terstruktur secara hirarkis, dalam arti bahwa spirit ekonomi islam tercermin dari tujuannya, dan ditopang oleh pilarnya. Tujuan untuk mencapai falah hanya bisa diwujudkan dengan pilar ekonomi islam, yaitu nilai-nilai dasar (islamic values), dan pilar operasional , yang tercermin dalam prinsip-prinsip ekonomi islam. Dari sinilah akan tampak suatu bangunan ekonomi islam dalam suatu paradigma, baik paradigma dalam berfikir dan berperilaku maupun bentuk perekonomiannya.(P3EI UII:2008:53).
Syariat Islam memberikan acuan kepada pengikutnya tentang prinsip-prinsip dasar dalam perilaku ekonomi individu yang mengarah pada tujuan-tujuan umum (maqashid al-syariah), yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dari situ, Islam memberikan ruang cukup luas bagi para ilmuan untuk melakukan kajian mendalam dan serius dalam banyak bidang, termasuk studi tentang ekonomi Islam, untuk memilih strategi yang sesuai dengan tahap-tahap perkembangan ekonomi dan sosial yang ada. Syariat Islam memberikan ruang untuk dilakukan kontekstualitas (ijtihad) dengan tidak melakukan pelanggaran secara esensial. Kajian itu, agar Islam menjadi produktif (Islam Empiris). Khasanah Islam yang memberikan ruang kepada ilmuan muslim untuk melakukan kajian mendalam sehingga mampu mengembangkan keilmuan Islami yang maslahah.(Minarni:2015:2).
Pembahasan
Pengertian Ekonomi Islam
Ekonomi islam muncul dari sebagai refleksi atas kekaaffahan keislaman seorang muslim. Ekonomi islam merupakan bentuk evolusi atas teori ekonomi noeklasik. Ekonomi islam muncul di saat perekonomian modern lambat dalam menghadirkan solusi atas problematika ekonomi kontemporer, kalau tida boleh dikakatakan tidak mampu untuk menghadirkan alternatif solusi.(Al-Mishri;2006:ix).
Ilmu ekonomi islam adalah sebuah sistem ekonomi yang menjelaskan segala fenomena tentang perilaku pilihan dan pengambilan keputusan dalam setiap unit ekonomi dengan memasukkan tata aturan syariah sebagai variabel indevenden (ikut mempengaruhi segala pengambilan keputusan ekonomi).(Karim;2006:5).
Dari sudut pandang ilmu fiqih, kegiatan ekonomi bukanlah termasuk ibadah mahdah, melainkan bab mu’amalah. Oleh karena itu, berlaku kaidah fiqih yang menyatakan bahwa Al-ashl fi al-mu’amalah al-ibahah, illa idza ma dalla al-dalil ala khilafihi, yakni suatu perkara muamalah pada dasarnya diperkenankan halal untuk dijalankan, kecuali jika ada bukti larangan dari sumber agama (al-qur’an dan sunnah). Oleh karena itu tidak dibenarkan melarang sesuatu yang dibolehkan Allah, sebagaimana tidak boleh pula membolehkan sesuatu yang jelas hal itu dilarang.(Karim;2006:5).
Menurut muhammad Baqir as-sadr bahwa ekonomi islam adalah sebuah ajaran atau doctrine dan bukannya ilmu murni (science), karena apa yang terkandung dalam ekonomi islam bertujuan memberikan solusi hidup yang paling baik, sedangkan ilmu ekonomi hanya akan mengantarkan kita kepada pemahaman bagaimana kegiatan ekonomi berjalan. Ekonomi islam tidak hanya sekedar ilmu, tapi lebih dari pada itu, yaitu ekonomi islam adalah sebuah sistem.(Karim;2006:4).
Dengan demikian yang dimaksud dengan sistem ekonomi islam tidak lain adalah segenap pandangan atau keyakinan yang bersumber dari islam, yaitu al-qur’an dan as-sunnah terhadap alokasi berbagai sumber daya ekonomi yang ada di bumi ini. Segenap pandangan tersebut kemudian disusun sehingga menghasilkan sistem ekonomi islam yang utuh dan siap diaplikasikan dalam kehidupan yang nyata.(Triono;2012:97).

Prinsip-prinsip Ekonomi Islam
Prinsip merupakan suatu mekanisme atau elemen pokok yang menjadi struktur atau kelengkapan suatu kegiatan atau keadaan. Dalam contoh shalat, prinsip dicerminkan dari rukun dan syarat sahnya shalat yang membuat suatu kegiatan bisa disebut sebagai shalat. (PE3EI UII;2008). Begitupun dalam ekonomi islam juga memiliki berbagai prinsip-prinsip yang membangunnya. Bangunan ekonomi islam didasarkan atas lima universal, yakni: Tauhid (Keimanan), Adl (Keadilan), Nubuwwah (Kenabian), Khilafah (Pemerintahan), dan Ma’ad (Hasil). Kelima nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk menyusun proporsi-proporsi dan teori-teori ekonomi islam. Teori yang kuat dan baik tanpa diterapkan menjadi sistem, akan menjadikan ekonomi islam hanya sebagai kajian ilmu saja tanpa memberi dampak pada kehidupan ekonomi. Oleh karena itu, dari kelima nilai-nilai universal ini dibangunlah ciri-ciri dan cikal bakal sistem ekonomi islam. Ketiga prinsip derivatif itu adalah multitype ownership, freedom to act dan sosial justice.(Karim;2006;34).
Diatas prinsip-prinsip ekonomi islam tersebut dibangunlah konsep yang memayungi kesemuanya, yakni konsep akhlak. Akhlak menempati posisi puncak, karena inilah yang menjadi tujuan islam dan dakwah para nabi, yakni untuk menyempurnakan akhlak manusia. Ahlak inilah yang menjadi panduan para pelaku ekonomi dan bisnis dalam melakukan aktifitasnya.(Karim;2006:34).
Perkembangan  Pemikiran Ekonomi Islam
Dalam memahami dan mempelajari ekonomi islam ada ditemukan beberapa perbedaan pendapat tentang hal itu. Ada tiga mazhab yang cukup populer tentang pandangan/ pemikiran ekonomi islam, yakni mazhab Baqir As-sadr, mazhab Mainstream, dan Mazhab Alternatif-Kritis.(Al-Mishri;2006:11).
-       Mazhab Baqir As Sadr,
Mazhab ini berpendapat bahwa ekonomi dan islam memiliki dimensi yang berbeda, sehingga tidak bisa disatukan dengan istilah ekonomi islam. Menurutnya persoalan ekonomi muncul akibat dari sistem distribusi yang tidak adil dan merata, bukan karena sumber daya yang terbatas berhadapan dengan keinginan manusia yang tidak terbatas. Pemikiran ini melakukan rekonstruksi pemikiran ekonomi al-qur’an dan as-sunnah. Adapun tokoh dari mazhab ini adalah M. Baqir As Sadr, Abbas Mirakhor, Kadim As Sadr.
-       Mazhab Mainstream
Mazhab Mainstream berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena ada sumber daya yang terbatas dihadapkan dengan keinginan yang tidak terbatas, terkait dengan letak geografis dan dimensi waktu yang berbeda. Berusaha mendialetikkan teori realita perekonomian kontemporer dengan nilai-nilai al-qur’an dan as-sunnah. Adapun tokoh dari mazhab ini adalah M. Umer Chapra, Nejatullah Shiddiqi dan M.A Mannan.
-       Mazhab Analisis-Kritis
Mazhab ini mengkritik mazhab Baqir As Sadr sebagai mazhab yang berusaha menemukan sesuatu yang baru yang sebelumnya telah ditemukan orang lain. Juga berpendapat bahwa mazhab mainstream merupakan jiplakan dari ekonomi neoklasik dengan menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat. Mashab ini juga berpendapat bahwa ekonomi islam adalah hasil tafsiran manusia atas al-qur’an dan as sunnah atas persoalan ekonomi, sehingga kebenarannya tidak mutlak dan bisa dikritik. Adapun yang tokoh dari mazhab ini yaitu Timur Kuran dan M. Arif.
Bahwasanya Ekonomi Islam yang berdasarkan hukum Islam itu tidak ada perbedaan pendapat yang berarti dikalangan sarjana hukum Islam, namun terdapat dua mainstrem berpikir dikalangan ahli hukum Islam berkenan dengan Ekonomi Islam, yaitu;(Mustofa:2014:223).
1.       Kelompok tradisional, berpendapat bahwa ekonomi Islam sebagaiman aspek lain, dalam Islam, dapat langsung di breakdown dari hukum Islam untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa campur tangan manusia. Kalangan tradisional berpendapat bahwasanya semenjak hukum Islam dilegislasikan maka ekonomi Islam tidak perlu dikontekstualisasikan dengan kondisi kekinian , selain itu ia mampu untuk menjawab seluruh permasalahn ekonomi dulu, sekarang, dan yang akan datang.
2.       Kelompok yang berpendapat bahwa sumber-sumber Islam utama tidak mengandung informasi yang cukup untuk pembangunan sistem ekonomi terintegrasi yang mampu menyelesaikan maslah ekonomi saat ini. Selanjutnya sebagian besar aturan dan prinsip ekonomi Islam harus didasarkan pada penalaran manusia yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang ditetapakan dalam sumber-sumber Islam primer. Singkatnya, penganut paham ini berpendapat ekonomi Islam tidak memiliki hukum ‘’hukum kanon” yang bersifat baku, praktis dan siap diaplikasikan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan riil masyarakat, sebaliknya ekonomi Islam mempunyai berbagai panduan yang bersifat prinsip-prinsip umum, dan itulah yang kemudian dikembangkan sesaui dengan problem dan kebutuhan riil masyarakat.
Untuk mewujudkan ekonomi yang bermoral dimulai dengan membentuk pribadi dan pelaku ekonomi. Sebab pribadi merupakan sentral dari perputaran ekonomi yang dibantu oleh sistem dan struktur. Jika pelaku ekonomi sudah bermoral maka secara otomatis sistem yang dihasilkan juga bermoral.
Konsep Ekonomi Islam
Ekonomi islam mengalami kebangkitan setelah tenggelam dalam sejarah beberapa abad yang silam. Ekonomi islam kini kembali sebagai solusi dari sistem perekonomiaan yang ada saat ini yang sudah dianggap gagal dalam mengatur kehidupan manusia. Ekonomi islam tetap akan berkosentrasi pada aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber daya, dengan tujuan utamanya merealisasikan maqasid. Suatu perekonomian dapat dikatakan adil jika barang dan jasa yang diproduksi dapat didistribusikan dalam suatu cara dimana kebutuhan individu (tanpa memandang apapun), dapat dipenuhi secara memadai dan juga terdapat distribusi kekayaan dan pendapatan yang adil tanpa berdampak buruk pada motivasi kerja, menabung, investasi, dan melakukan usaha. (Chapra;2001:100).
Dalam mencapai tujuan yang ideal tersebut maka ekonomi islam memiliki konsep ekonomi yang ideal pula. Konsep ekonomi islam cenderung untuk memposisikan manusia dalam kedudukan yang sama, dan dibangun atas dasar/ asas-asa sebagi berikut:
1.    Bekerja merupakan faktor utama dalam kehidupan ekonomi (asal)
2.    Kebebasan individu untuk melakukan kegiatan ekonomi dengan batasan, kebebasan tersebut tidak menimbulkan madharat bagi orang lain.
3.    Tanggung jawab kolektif dalam mewujudkan kehidupan yang mulia bagi setiap individu masyarakat, dengan jalan adanya konsep ta’awun (saling tolong), saling mengasihi dan memerhatikan konsep tawazun (keseimbangan) dalam setiap dimensi kehidupan masyarakat.
4.    Pemilik hakiki atas harta hanyalah Allah semesta. Harta kekayaan harus ditasarrufkan/ diarahkan untuk mendapatkan ridhaNya yang merupakan tujuan akhir setiap muslim. Dalam arti, kehidupan ekonomi dalam islam hanya sebagai media untuk menata kehidupan mu’amalah, dan demi tegaknya risalah Allah di atas bumi ini.
Paradigma ekonomi islam mencerminkan suatu pandangan dan perilaku pencapaian falah. Paradigma ekonomi islam bisa dilihat dari dua sudut pandang, yaitu paradigma berfikir dan berperilaku (behaviour paradigm) serta paradigma umum (grand pattern). Sistem ekonomi islam akan mencakup kesatuan mekanisme dan lembaga yang dipergunakan untuk mengoperasionalkan pemikiran dan teori-teori ekonomi islam dalam kegiata produksi, distribusi, dan konsumsi.(P3EI UII; 2008:76).


Bangunan Ekonomi Islam
Karim (2003) dalam bukunya yang berjudul Ekonomi Mikro Islam, menjelaskan bahwa bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal, yaitu:
1.  Tauhid (Keimanan).
Tauhid merupakan fondasi ajaran Islam. Dengan tauhid, manusia secara menyeluruh akan menyerahkan segala aktifitasnya kepada Allah. Oleh karena itu, segala aktifitas akan selalu dibingkai dalam kerangka hubungan kepada Allah.
2.  ‘Adl (Keadilan). 
         Dalam Islam, adil didefinisikan sebagai tindakan tidak menzhalimi dan dizhalimi. Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejarkan keuntungan pribadi, namun merugikan orang lain atau merusak alam.
3.  Nubuwwah (Kenabian).
Salah satu fungsi dari Rasul adalah untuk menjadi model terbaik bagi manusia yang harus diteladani untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Nabi Muhammad adalah model terbaik yang utus Allah untuk dijadikan tauladan oleh seluruh manusia. Keteladanan Nabi Muhammad mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk teladan dalam bertransaksi ekonomi dan bisnis. Empat sifat utama Nabi yang dapat dijadikan teladan adalah siddiq, amanah, fathanah, dan tabligh. 
4.  Khalifah (Pemerintahan).
Dalam Al Quran, Allah menyebutkan bahwa manusia diciptakan adalah untuk menjadi khalifah dibumi. Peran khalifah adalah untuk menjadi pemimpin dan pemakmur bumi.
5. Ma’ad (Hasil).
Implikasi nilai ini adalah dalam perekonomian dan bisnis bahwa motivasi para pelaku bisnis adalh untuk mendapatkan hasil di dunia (laba/profit) dan hasil di akhirat (pahala).
Kelima nilai dasar ini menjadi dasar inspirasi untuk untuk menyusun proposisi-proposisi dan teori-teori ekonomi Islam. Dari kelima nilai-nilai universal tersebut, dibangunlah tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri dan cikal bakal sistem ekonomi Islam. Ketiga prinsip derivatif itu adalah:
1.   Multitype ownership (Kepemilikan Multijenis)
Nilai tauhid dan keadilan melahirkan konsep Multitype ownership atau kepemilikan multijenis. Dalam sistem ekonomi kapitalis, prinsip umum kepemilikan yang berlaku adalah kepemilikan swasta atau pemodal, sedang dalam sistem ekonomi sosialis yang berlaku adalah kepemilikan negara. Dalam sistem ekonomi Islam, mengakui bermacam bentuk kepemilikan, baik oleh swasta, negara, atau campuran.

2.  Freedom to act (Kebebasan bertindak dan berusaha)
Keempat sifat utama Nabi jika digabungkan dengan nilai keadilan dan nilai khalifah akan melahirkan prinsip freedom to act atau kebebasan bertindak dan berusaha bagi setiap muslim. Islam memberikan kebebasan kepada setiap muslim dalam hal Muamalah, namun kebebasan tersebut memiliki batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar.
3. Social justice (Keadilan Sosial)
Prinsip Social Justice lahir dari gabungan nilai khalifah dan nilai ma’ad. Semua sistem ekonomi yang ada pasti memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menciptakan sistem perekonomian yang adil. Keadilan dalam pendistribuasian kekayaan adalah bagian dari prinsip ekonomi Islam. Islam melarang umatnya untuk menumpuk kekayaan pada satu kelompok, namun kekayaan haruslah didistrbusikan secara merata. Kewajiban Zakat, Infak, dan shadaqah bagi golongan yang mampu adalah bentuk pendistribusian kekayaan dalam ekonomi Islam.
Di atas semua nilai dan prinsip tersebut, dibangunlah konsep yang memayungi semuanya, yaitu konsep Akhlak. Akhlak menempati posisi puncak, karena inilah yang menjadi tujuan Islam dan dakwah para Nabi. Akhlaq inilah yang menjadi panduan para pelaku ekonomi dan bisnis dalam melakukan aktivitasnya.
Prinsip-prinsip ekonomi Islam yang telah dijelaskan diatas membentuk keseluruhan kerangka ekonomi Islam, jika digambarkan sebuah bangunan ekonomi Islam dapat divisualisasikan sebagai berikut:

Prinsip merupakan suatu mekanisme atau elemen pokok yang menjadi struktur atau kelengkapan suatu kegiatan atau keadaan. Dalam contoh shalat, prinsip dicerminkan dari rukun dan syarat sahnya shalat yang membuat suatu kegiatan bisa disebut sebagai shalat. (P3EI UII;2008:58). Begitupun dalam ekonomi islam juga memiliki berbagai prinsip-prinsip yang membangunnya. Bangunan ekonomi islam didasarkan atas lima universal, yakni: Tauhid (Keimanan), Adl (Keadilan), Nubuwwah (Kenabian), Khilafah (Pemerintahan), dan Ma’ad (Hasil). Kelima nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk menyusun proporsi-proporsi dan teori-teori ekonomi islam. Teori yang kuat dan baik tanpa diterapkan menjadi sistem, akan menjadikan ekonomi islam hanya sebagai kajian ilmu saja tanpa memberi dampak pada kehidupan ekonomi. Oleh karena itu, dari kelima nilai-nilai universal ini dibangunlah ciri-ciri dan cikal bakal sistem ekonomi islam. Ketiga prinsip derivatif itu adalah multitype ownership, freedom to act dan sosial justice. (Karim;2006:34).
Diatas prinsip-prinsip ekonomi islam tersebut dibangunlah konsep yang memayungi kesemuanya, yakni konsep akhlak. Akhlak menempati posisi puncak, karena inilah yang menjadi tujuan islam dan dakwah para nabi, yakni untuk menyempurnakan akhlak manusia. Ahlak inilah yang menjadi panduan para pelaku ekonomi dan bisnis dalam melakukan aktifitasnya.
Kekuatan Ekonomi Islam
Pemenuhan dasar masyarakat merupakan dasar karakteristik ekonomi Islam, ia merupakan fondasi kebijakan ekonomi sebuah negara. Berbeda dengan ekonomi kapitalis yang mementingkan kekayaan sektor swasta, ketika sistem ini mulai nampak keburukannya, didirikanlah lembaga-lembaga asuransi, charity, (amal) untuk menyantuni kaum fakir miskin. Hal ini dilakukan untuk meringakan kezaliman yang telah diakibatkan oleh sistem ini. Karena jaminan sosial, asuransi, dan lainnya bukanlah fondasi dari sistem ekonomi kapitalis, namun hanya kebijakan temporal, untuk meringankan kezaliman yang telah dilakukannya. Begitupun dengan ekonomi sosialis,yang muncul sebagai lawan dari sistem kapitalis, yang memiliki sistem penyamarataan semua golongan masyarakat secara berlebihan, sehingga menghilangkan kepemilikan pribadi. Jikapun ada jaminan sosial yang diberikan, ia hanya merupakan implementasi penyamarataan tersebut, tanpa peduli apakah jaminan itu dapat memenuhi kebutuhan dasar atau tidak. Dalam ekonomi Islam disamping benda fisiki, barang publik juga mencakup kebutuhan nonfisik, seperti kebutuhan akan kedaulatan dan hukum, pendidikan, pertahanan dan keamanan, dan pemerintahan. Yang membedakan masyarakat Islam dari yang lainya adalah pengakuan terhadap kebutuhan religius secara publik.salah satu contoh adalah lingkungan yang aman dan nyaman untuk pendidikan moral religius anak-anak, maka pemberantasan pornografi dan membersihkan area publik dari mengekspos dosa yang berlawanan dengan religiusitas menjadi tugas negara.(Huda:2011:122).
Ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan dalam sebuah negara semata, tanpa memperhatikan terjamin tidaknya tiap orang untuk menikmati kehidupan tersebut. Ekonomi Islam juga bukan hanya bertujuan untuk mengupayakan kemakmuran individu dengan membiarkan mereka sebebas-bebasnya untuk memperolah kemakmuran tersebut dengan cara apapun, tanpa memperhatikan terjamin tidaknya hak hidup tiap orang. Ekonomi Islam adalah semata-mata merupakan pemecahan masalah utama yang dihadapi tiap orang, sebagai manusia yang hidup sesuai dengan interaksi-interaksi tertentu, serta memungkinkan orang yang bersangkutan untuk meningkatkan taraf hidupnya, dan mengupayakan kemakmuran dirinya di dalam gaya hidup Islami. Hukum-hukum syara’ telah menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan primer tiap warga negara Islam secara menyeluruh, seperti sandang, papan dan pangan. Caranya adalah dengan mewajibkan bekerja tiap lakilaki yang mampu bekerja, sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan primernya sendiri, beserta orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggungannya. Kalau orang tersebut tidak mampu bekerja, maka Islam mewajibkan kapada anak-anaknya serta ahli warisnya untuk memenuhi kebutuhan primernya. Atau, bila yang wajib menanggung nafkahnya tidak ada, maka baitul maal yang wajib memenuhinya.(Nabhani:2009:55).
Ekonimi Syariah/Islam memilki pandangan bahwa seluruh harta kekayaan yang ada dialam ini harus dialokasikan secara adil menurut aturan syariah Islam. Dalam ekonomi Islam ternyata harta kekayaan tidak langsung mengalokasikan seluruh harta kekayaan itu ke dalam mekanisme pasar, sebagaimana yang ada dalam tubuh ekonomi kapitalisme. Didalam ekonomi pasar syariah, seluruh harta kekayaan yang ada harus menjalani tiga tahan penyaringan, yaitu Pra pasar, Mekanisme pasar, dan Pasca pasar. Sebelum harta kekayaan masuk dalam mekanisme pasar, seluruh harta kekayaan tersebut terlebih dahulu harus disaring dalam tahapan penyaringan pra pasar. Pandangan ekonomi Islam harta itu harus dipilah atau dibagi terlebih dahulu menurut jenis kepemilikannya. Pembagian kepemilikan harta dalam pandanga ekonomi Islam, yaitu dibagi menjadi tiga yaitu; kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Manfaat tentu akan dapat terlihat secara langsung yaitu limpahan sumber daya alam akan langsung dikelolah negara, selanjutnya akan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.(Condro:2017:175).
Dalam kebutuhan manusia terhadap harta itu ada yang bersifat dharuri (primer), ada yang bersifat (sekunder), dan ada juga yang bersifat tahsini (pelengkap). Begitu pula hajat dan kebutuhan lainnya itu berbeda-beda tingkat kepentingannya. Tingkat urgensi dan kepentingan tersebut yaitu; (Sahroni:2017:5).
1.       Dharuriyat, yaitu kebutuhan yang harus dipenuhi; yang jika tidak dipenuhi akan membuat kehidupan menjadi rusak.
2.       Hajiyat, yaitu kebutuhan yang seyogianya dipenuh; yang jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan kesulitan.
3.       Tahsinat, yaitu kebutuhan pelengkap; yang jika tidak dipenuhi akan membuat kehidupan menjadi kurang nyaman.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut harus dilengkapi dengan adanya tujuan yang mulia, yang disebut dengan maqhasid syariah atau yang biasa disebut kulliyat alkhamsah (lima prinsip umum) yaitu; Hifdzu din (melindungi agama), Hifdzu nafs (melindungi jiwa), Hifdzu aql (melindungi pikiran), Hifdzu mal (melindungi harta), Hifdzu nasab (melindungi keturunan).
Menolak Riba
Riba secara etimologis berarti ziyadah (tambahan). Sebagaimana firman Allah Ta’ala;
“Disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.” (QS. An-Nahl [16] : 92 ).
Maksud arba dalam ayat diatas adalah lebih banyak jumlahnya. Dikatakan: arba fulan ‘ala fuan, artinya fulan melebihi fulan.
Adapun riba secara terminologis adalah tambahan sesuatu yang dikhususkan. Maksudnya adalah tamabahan pada modal pokok.(Thahyyar:2009:106). Allah swt berfirman.
“Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu.” ( QS. Al-Baqarah [2[: 279).
Asal makna “riba’’ menurt bahasa arab ialah lebih (bertambah). Adapun yag dimaksud disini menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tindakannya menurut aturan syara’ atau terlambat menerimanya.(Rasjid:2011:290).
Riba adalah penambahan, perkembangan, peningkatan, dan pembesaran atas pinjaman pokok yang diterima pemberi pinjaman dari peminjaman sebagai imbalan karena menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu tertentu.(Sudarsono:2005:10).
Dalam hal ini, Muhammad Ibnu Abdullah Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam kitab Ahkam Al-qur’an mengatakan bahwa tambahan yang termasuk riba adalah tambahan yang diambil tanpa ada suatu ‘iwad (penyeimbang/ pengganti) yang dibenarkan syariah. Demikian juga, Imam Sarakhi dalam kitab Al-Mabsut menyebutkan bahwa tambahan yang termasuk riba adalah tambahan yang disyariatkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya ‘iwad yang dibenarkan syariat atas penambahan tersebut. Sementara Badr ad-Dien al-Ayni dalam kitab Umdatul Qari  mengatakan bahwa tambahan yang termasuk riba adalah tambahan atas harta pokok tanpa adanya ransaksi bisnis riil. Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah, yang dimaksud riba adalah tambahan atas modal baik penambahan itu sedikit atau banyak. Demikian juga, menurut Ibnu Hajar ‘Askalani, riba adalah kelbihan, baik dalam bentuk barang maupun uang. Sedangkan menurut Allama Mahmud Al-Hasan Taunki, riba adalah kelebihan atau pertambahan; dan jika dalam satu kontrak penukaran barang lebih dari satu barang yang diminta sebagai penukaran satu bang yang sama. (Sudarsono:2005:10).
Jenis-jenis Riba
‘’ Riba terdiri atas 72 jenis. Riba yang paling hina adalah seperti seorang laki-laki yang menyetebuhi ibunya. Adapun riba yang paling tinggi adalah memfitnah atau mencemarkan nama baik orang lain.’’ (13 (4717).(Athiyah:2009:85).
Fuqaha’ mazhab Hanafiyah Malikiyah, dan Hanabilah membagi riba menjadi dua macam yaitu: riba al-nasi’ah dan riba al-fadhl. Sedangkan fuqaha Syafi’iyah membagi tiga macam yaitu: riba al-nasi’ah, riba al-fadhl dan riba al-yad. Dalam pandangan jumhur madzahib riba al-yad ini termasuk dalam kategori riba al-nasiah.(A.Mas’adi:2002:106).
Ø Defenisi riba al-nasi’ah menurut Wahbah al-Zuhaily adalah penambahan harga atas barang kontan lantaran penundaan waktu pembayaran atau penambahan ‘ain (barang kontan) atas dain (harga hutang)’’ terhadap barang berbeda jenis yang tidak ditakar atau ditimbang.’’ Sedangkan menurut Abdur Rahman al-Zajairy, riba al-Nasi’ah adalah riba atau tambahan (yang dipungut) sebagai imbngan atas penundaan pembayaran.’’ Dari uraian ini dapat disimpulkan riba nasi’ah itu, pertama, penambahan dari harga pokok sebagai konpensasi penundaan pembayaran. Kedua, penndaan penyerahan salah satu dari barang yang dipertukarkan dalam jual-beli barang ribawi yang sejenis.
Ø Riba al-Fadhl adalah penambahan pada salah satu dari benda yang dipertukarkan dalam jual-beli benda ribawi yang sejenis, bukan karena faktor penundaan pembayaran. Dalam definisi ini terdapat dua term yng memerlukan pembahasan lebih lanjut, yakni  ‘’benda ribawi’’ dan ‘’sejenis’’. Para fuqaha sepakat bahwasahnya riba al-fadhl hanya berlaku pada harta benda ribawi. Mereka juga sepakat terhadap tujuh macam harta benda sebagai harta-benda ribawi karena secara tegas dalam nash hadis. Ketujuh harta-benda tersebut adalah: (1) emas, (2) perak, (3) burr, jenis gandum, (4) syair, jenis gandum, (5) kurma, (6) zabib, anggur kering, dan (7) garam. Selain tujuh macam harta-benda tersebut fuqaha berselisih pandangan.
Ø Syafi’iah menambahkan satu macam riba yang lain, yaitu riba yad (tangan), yaitu jika salah satu di antara dua pihak yang melakukan transaksi (muta’aqidain) meninggalkan tempat transaksi sebelum serah terima. (Thahyyar:2009:111).
Keharaman Riba
Seluruh fuqaha sepakat bahwasahnya hukum riba adalah haram. Berdasarkan keterangan yang jelas dalam al-qur’an dan al-Hadist. Pernyataan al-Qur’an tentang larangan riba terdapat pada Surah Al-Baqarah ayat 275, 276, 278, dan, 279.
Orang-orang yang memakan (memungut) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan syaitan lantaran gangguan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata: sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba’. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba….(Al-Baqarah; 275).
Surah Al-Baqarah diatas mengecam keras pemungutan riba dan mereka diserupakan dengan orang yang keasukan setan. Selanjutnya ayat ini membantah kesamaan antara riba dan jual-beli dengan menegaskan Allah menghalalkan jual-beli dan mengaharamkan riba. (Thahyyar:2009:159).
Riba hukumnya haram dalam semua agama samawi. Kemudian islam datang menguatkan hal itu. Allah Ta’ala tidak mengizinkan memerangi orang yang berbuat maksiat kecuali terhadap pemakan riba. Barang siapa yang menganggap bahwa riba adalah halal, maka ia kafir karena berarti telah mengingkari sesuatu yang telah disebutkan oleh agama. Adapun orang yang berkecimpung dalam riba, tetapi ia tidak menghalakannya, berarti ia seorang fasik yang melakukan dosa besar yang palin besar. .(A.Mas’adi:2002:152).
Dalil hadist tentang haramnya riba, diantaranya hadist riwayat Imam al-Bukhari yang bersumber dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah saw bersabda; ‘’ Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, “ apa itu, wahai rasulullah ? beliau menjawab, “ Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharramkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada hadist lain juga dari Imam al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan hadist yang bersumber dari Jabir r.a, Rasulullah bersabda: “ Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, yang memberi makannya, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau juga bersabda, “mereka semua sama.” ( HR. Bukhari dan Muslim).
Bahaya Riba
Islam memandang riba merupakan akar kerusakan dari sebuah perekonomian. Ini dapat dilihat dari perekonomian pada zaman rasulullah saw. Pada masa itu, oranG yang dipinjami uang dari orang lain mempunyai peluang kecil untuk menghindarinya dari bunga yang melekat didalamnya. Bebannya akan terus meningkat dari waktu ke waktu sampai kemudian mereka tidak mampu membayar kembali hutangnya. Seringkali para penghutang tersebut mengambil salah satu anggota keluarga, untuk dijual sebagai budak sebagai konpensasi atas ketidakmampuan membayar tersebut. Perilaku ini sudah sangat umum pada zaman itu yang mengakibatakan perekonomian hancur, dan pada akhirnya merusak harkat dan martabat manusia.(Karim:2004:125).
Dalam buku “The General Theory of Employment, Interest and Money,” Johnn Mynard Keynes, seorang tokoh ekonomi kapitalis mengatakan, sesungguhnya interest rate yang ada dalam ekonomi, akan menghambat kegitan produksi yang dilakukan. Kaena hal itu akan mendorong pemilik harta untuk menabung dan tidak mau untuk melakukan investasi secara langsung dalam dunia industri atau perdagangan. Karena mereka takut terhadap resiko kerugian sehingga ia tidak akan mendapatkan apa-apa.(Al-Mishri:2006:180).
Sistem riba, seseorag berusaha memenuhi kebutuhan orang lain yang ingin meminjam harta. Peminjam mengharuskan pengambilan pinjaman ditambah nilai uangnya tanpa diinya ikut bekerja atau menanggung beban pekerjaan. Sistem ini membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Pelaku riba bagaikan lintah yang mengisap darah orang-orang yang bekerja keras, sedangkan ia sendiri tidak mengerjakan apapun, tetapi ia tetap memperoleh keuntungan yang melimpah ruah. Dengan demikian semakin lebarlah jurang pemisah dalam bidang ekonomi antara berbagai kelompok di tengah masyarakat dan api permusuhanpun semakin berkobar. Oleh karena itu, Islam sangat melarang keras dan mengharamkan riba dan memasukkannya ke kategori dosa besar yang merusak. Allah SWT mengancam orang yang mengambil riba dengan ancaman yang sangat berat.(Qardhawi:2003:94).
Bunga Bank adalah Riba Yang dilarang
Larangan Al-qur’an terhadap pengambilan al-Riba adalah jelas dan pasti. Sepanjang pengetahuan tidak seorang pun mempermasalahkannya. Tetapi pertentangan yang ditimbulkan adalah mengenai perbedaan antara riba dan bunga. Salah satu mazhab pemikiran percaya bahwa apa yang dilarang islam adalah riba bukan bunga. Sementara suatu mazhab pemikiran lain merasa bahwa sebenarnya tidak terdapat perbedaan antara riba dan bunga. Karena itu pertayaan pertama yyang harus dijawab adalah apakah ada perbedaan antara riba dalam al-qur’an dan bunga dalam dunia kapitalis. Yang kedua, sekalipun keduanya sama artinya, mungkinkah kita mempunyai suatu masyarakat yang bebas bunga ?(Mannan:1999:118).
Sejalan dengan fatwa MUI tentang bunga bank adalah riba, dan merupakan hal yang dilarang. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan kembali fatwa mengenai bunga bank adalah haram dalam ijtima ulama komisi fatwa se-Indonesia dan rapat kerja nasional MUI. Seperti dikutip dari ketua komisi fatwa MUI, K.H Ma’ruf Amin mengatakan bahwa bunga bank jelas bertentangan dengan prinsip syariah islam. Persoalan halal-haramnya suda selesai, semua sudah jelas bunga bank tidak sesuai syariah dan telah diperhitungkan mudharatnya bagi ummat. Selanjutnya Ma’ruf Amin mengatakan bahwa saat ini sudah banyak bank syariah, sehingga tidak ada alasan lagi alasan/ kondisi darurat di masa lalu.(Amin:2004:37).
Lepas dari itu, fatwa bunga bank haram sebetulnya tidak hanya berdimensi sempit pengembangan bank syariah saja, tapi mempunyai yang jauh lebih luas. Salah satunya, fatwa ini akan mendukung terciptanya kondisi makro ekonomi yang lebih aman dan stabil. Bukti menunjukkan, ketika badai ekonomi menghantam yang membuat hampir semua institusi ekonomi tiarap. Sedangkan institusi serupa yang berbasis non-bunga tetap ekisis, bahkan tanpa rekapitalisasi dari pemerintah.(Amin:2004:38).
Pandangan lain dari Abdullah Saeed melihat, bahwa dalam praktiknya, sistem bunga dalam perbankan konvensional saat ini, tidaklah termasuk ke dalam jenis bunga yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan, apalagi sampai pada terjadinya penindasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh kreditur kepada debitur. Oleh sebab itu, bunga bank yang demikian bukanlah termasuk ke dalam riba yang dilarang, sebab tidak menimbulkan efek yang buruk, yang menjadi tujuan utama dalam aspek pelarangan riba dalam Islam.(Wartoyo:2010:125).
Sedangkan menurut Yusuf Al-Qaradhāwi mengatakan bahwa aspek pelarangan riba dalam al-Qur’an tidak terbatas pada apa yang dipahami oleh sebagian orang terhadap riba yang berlipatganda saja, sebab itu semua hanya merupakan gaya bahasa dari al-Qur’an dalam menggambarkan betapa riba pada masa jahiliyah telah begitu buruknya, hingga mencapai bentuk yang berlipatganda. Maka baginya, pernyataan berlipatganda ini bukanlah sesuatu yang penting dalam konteks pelarangan riba, sebab telah jelas bahwa yang riba yang dilarang dalam al-Qur’an adalah setiap penambahan yang terdapat dalam peminjaman, baik itu besar atau kecil yang telah ditentukan terlebih dahulu sebelumnya. (Wartoyo:2010:128)
Yusuf Al-Qaradhāwi lebih melihat kemudharatan pinjaman berbunga dari segi mikro ekonomi, hal itu terlihat dari pemaparannya mengenai kemudharatan-kemudharatan pinjaman berbunga yang lebih mengarah kepada individual orang per orangnya. Sedangkan Abdullah Saeed, lebih melihat manfaat dari pinjaman berbunga secara makro ekonomi suatu negara. Di mana pada saat ini, bagi negara-negara yang tengah berkembang, kebutuhan akan pinjaman untuk melakukan pembangunan pada sektor-sektor utama sangatlah dibutuhkan. Terlebih bila pinjaman tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, dan disertai dengan pengelolaan yang baik, sehingga dampak manfaat dari pinjaman berbunga tersebut akan lebih besar ketimbang dampak mudharatnya.(Wartoyo:2010:131).
Inilah diantara sebab-sebab mengapa Allah mengahalalkan Bai’ perdagangan dan mengharamkan riba (bunga). Disamping sebab-sebab itu, kaitannya juga dengan etika. Riba membentuk sifat bakhil, mementingkan diri sendiri, zalim, mengagungkan (mendewakan harta). Riba menurunkan semangat tolong menolong serta kerjasama. Bunga mendorong manusia mengumpulkan harta dan membelanjakannya, hanya untuk kepentingan pribadinya saja. Bunga menghambat bebasnya peredaran harta didalam masyarakat, riba menciptakan saluran harta yang mengalir hanya melalui orang-orang miskin menuju ke tangan orang-orang kaya saja. Dengan riba, harta masyarakat akan terkumpul di dalam peti dibeberapa tangan segelintir orang tertentu yang akhirnya akan membawa seluruh masyarakat ke dalam kehancuran ekonomi.(Rahman:1996:116).
Setelah mengkaji berbagai macam bentuk bisnis serta transaksi kredit, yang mengandung riba, yang sangat dikenal di Arabia di jaman nabi Muhammad saw, bunga dapat didefenisikan sebagai penentuan besarnya kelebihan dari pinjaman modal yang diterima oleh pemberi pinjaman dengan persyaratan periode waktu tertentu. Bunga mengandung tiga unsur yaitu, pertama kelebihan atas surplus yang melebihi dari modal yang dipinjamkan. Kedua, ketentuan besarnya surplus ditentukan oleh periode waktu. Ketiga, persetujuan terhadap syarat-syarat pembayaran kelebihan telah ditentukan. Adapun ketiga unsure tersebut bersama-sama membentuk riba serta semua bentuk lain dari tawar-menawar dan transaksi kredit, dalam bentuk uang atau sejenisnya, yang mengandung unsur-unsur tersebut, dianggap sebagai transaksi riba oleh para ahli fiqih dan ahli ekonomi.(Rahman:1996:86).
Keadaan bunga akan membuat orang kaya menjadi semakin kaya, dan meninggalkan orang miskin menjadi bertambah miskin. Bungan akan menuntun pada eksploitasi salah satu pihak yang ada, yakni debitur atau kreditur, dan karenanya dilarang, tanpa memandang siapa yang melakukan eksploitasi dalam transaksi tersebut. Karena keterlibatan bunga dan perjudian dengan skala besar membuat sistem financial konvensional menjadi sarana untuk mengeksploitasi penabung atau deposan dan publik secara umum.(Ayub:2007:441).
Banyak pendapat mengenai bunga. Para ahli pendukung doktrin bunga pun berbeda pandangan soal alasan untuk untuk apa bunga harus dibayarkan. Sebagian mengatakan bunga merupakan harga. Akan tetapi, harga untuk apa? Benda berharga apakah apakah yang dibayar oleh pemberi pinjaman (kreditur) sehingga ia menuntut imbalan uang setiap  bulan ataupun setiap tahun? Para pelopor intitusi bunga tak dapat mencapai kata sepakat dalam masalah ini.(Antonio:2001:69).
Penutup dan Kesimpulan
Ekonomi merupakan bagian integral dari ajaran islam, dan karenanya ekonomi islam akan terwujud hanya jika ajaran islam diyakini dan dilaksanakan secara menyeluruh. Ekonomi islam mempelajari perilaku individu-individu yang secara sadar  dan dituntun oleh ajaran islam al-qur’an dan as sunnah dalam memecahkan masalah ekonomi yang dihadapinya.
Ekonomi islam sebagai cabang ilmu yang berupaya untuk memandang, meneliti, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang islami, sesuai dengan tuntunan al-qur’an dan as sunnah. Jadi ilmu ekonomi islam mendasarkan segala aspek tujuan, metode penurunan ilmu dan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran islam.
Riba adalah suatu bentuk tambahan yang disyaratkan tanpa disertai tambahan transaksi lainnya. Riba adalah hal yang dilarang berdasarkan ketentuan yang ada di dalam al-qur’an, al-hadist, dan ijma. Riba terbagi atas dua, riba yang terjadi pada transaksi pinjam meminjam (Riba Na’siah) dan riba yang terjadi pada transaksi jual beli (Riba Fadhl). Semuanya dilarang karena riba memberikan berbagai dampak negatif dan menzholimi orang lain.
Bunga bank menurut sebagian pendapat bahwa merupakan riba, dan kategori yang dilarang. Walaupun dari ada beberapa pendapat lain yang menganggap bahwa bunga bank itu kategori riba yang dilarang karena tidak bersifat eksploitasi. Jika merujuk pada fatwa MUI bahwa jelas bunga bank yang ada saat ini adalah sesuatu yang haram. Bunga bank itu sesuatu yang dipersyaratkan dari setiap pinjaman yang ada. Apalagi saat ini sudah ada bank syariah jadi tidak ada alasan untuk memilih bank konvensional yang berbasiskan bunga.
Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur seluruh aspek dan aktifitas manusia di dunia ini termasuk perkara ekonomi. Ekonomi islam memberikan solusi dari setiap problem yang muncul saat ini. Dan menyajikan serta menawarkan konsep ekonomi yang akan menguntungkan semua pihak. Konsep ekonomi islam berbeda dengan konsep kapitalis dan sosialis yang pernah ada. Dengan belajar serta mendalami akan lebih mengenal halhal yang ditwarkan oleh ekonomi Islam yang kemudian menjadikan seseorang tidak hanya memahami dirinya serta kepentingannya tetapi juga membangun kepekaan kepedulian terhadap sesama manusia dalam rangka meraih kesejahteraan bersama. Apapun dimensi dari berbagai pandangan terkait ekonomi Islam, yang menjadi tujuannya adalah terpenuhinya seluruh keadilan bagi ummat manusia dan utama bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mishri,  Abdul Sami’. 2006.  Pilar-pilar Ekonomi Islam. 2006. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Amin, A. Riawan. 2004. Zikr Pikr Mikr The Celestial Management English Edition. 2004. Jakarta: Embun Publising.
An-Nabhani, Taqyuddin. 2009. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Perpektif Islam. (terj). Surabaya: Risalah Gusti.
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001.  Bank Syariah : Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Athiyyah, Muhyiddin. 2009. Kamus Ekonomi Islam Indeks Hadis Tentang Perniagaan dan Perekonomian Islam. Surakarta: Ziyad Visi Media.
Ayub, Muhammad. 2007.  Understanding Islamic Finance. England: John Wiley & Sons, Ltd.
A. Mas’adi, Ghufron. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual.  Jakarta:  PT. Raja Grafindo Persada.
Bin Muhammad, Abdullah Ath- Thayyar, dkk. 2009. Ensiklopedi Fiqih Muamalah Dalam Pandangan 4 Madzhab. Yogyakarta: Maktabah Al- Hanif.
Chapra, M. Umar. 2001.  Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Danupranata, Gita. Seri Ekonomi Islam 3. 2006. Yogyakarta : (UPFE UMY).
Fahmi, Abu, dkk. HRD Syariah Teori dan Implemtasi. 2014. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nomor 1, Tahun 2004, Tentang Bunga (Interest/ Fa’idah).
Huda, Nurul dan Ahmad Muti. 2011. Keuangan Publik Islami Pendekatan Al-Kharaj Imam Abu Yusuf. Bogor: Ghalia Indonesia.
Karim, Adiwarman.2006.  Ekonomi Mikro Islam Edisi 3. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Karim, Adiwarman, dkk. 2004. Bangunan Ekonomi Islam, Teori, Praktek, Dan Realitas Ekonomi Islam. Yogyakarta: Magistra Insani Pers dan MSI-UII.
Mannan, M. Abdul. 1997. Teori dan Praktik Ekonomi Islam.  Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Minarni. 2015. Falsifikasi Kebijakan Fiskal di Indonesia Perspektif Islam; Menemukan Relevansi Pemikiaran Ibnu Taimiyah Tentang Keuangan Publik Sebagai Potret Khasanah Kebijakan Fiskal Priode Klasik Islam.  Yogyakarta: Graha Ilmu.
Mustofa, Ahmad, dkk. 2014. Reorientasi Ekonomi Syariah. Yogyakarta: UII Press.
Qardhawi, Yusuf. 2003. Masyarakat Berbasis Syariat Islam, Hukum, Perekonomian, Perempuan. Jilid 2. 2003. Solo: Era Intermedia.
Rahman, Afzalur. 1996. Doktrin Ekonomi islam Jilid 3. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Rasjid, Sulaiman. 2011. Fiqh Islam Cetakan ke 52. 2011. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sahroni, Oni dan Adiwarman A Karim. 2017. Maqasid Bisnis dan Keuangan Islam Sintesis Fikih dan Ekonomi.  Depok : PT Rajagrafindo Persada.
Sudarsono, Heri. 2005.  Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi Edisi 3, Ekonisia, Yogyakarta.
Suseno, Priyonggo dkk (P3EI UII). Ekonomi Islam. 2008. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Triono, Dwi Condro. 2012. Ekonomi Mazhab Hamfara. 2012. Yogyakarta: Irtikaz.
Triono, Dwi Condro. 2017. Ekonomi Pasar Syariah Ekonomi Islam Madzhab Hamfara Jilid 2. Yogyakarta: Irtikaz
Wartoyo. 2010. BUNGA BANK : ABDULLAH SAEED VS YUSUF QARADHAWI (Sebuah Dialektika Pemikiran antara Kaum Modernis dengan Neo-Revivalis), La_Riba, Vol. IV, NO 1.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

M-Syariah Bukan Mobile Banking Biasa

Perkembangan industri perbankan syariah terus tumbuh dan berkembang dengan baik. Minat masyarakat untuk menggunakan produk-produk bank syariah juga semakin meningkat. Layanan perbankan syariah yang semakin keren menjadikan penilaian tersendiri dari masyarakat untuk memutuskan untuk berpindah menggunakan produk bank syariah. Gaya hidup islami, halal lifestyle seolah sudah menjadi kebutuhan dan trend yang nampak saat ini. Tanpa terkecuali pemenuhan kebutuhan keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah, salah satunya dengan bertransaksi menggunakan bank syariah. Alhamdulillah saat ini layanan bank syariah sudah semakin maju, bisa dikatakan setara dengan layanan bank konvensional, bedanya pasti bank syariah tidak ada bunga yang riba itu didalamnya. Penggunanya akan terasa aman dan nyaman dalam transaksi keuangan karena menguntungkan dan juga tetap taat pada aturan agama. Jika dahulu sering diangga bank syariah belum bisa mengimbangi bank konvensional dari sisi layanan dan teknologi, seper

Naik Haji Jangan Berhenti di Niat tapi Mulailah

          Setiap seorang muslim memiliki dambaan dan harapan untuk dapat menyempurnakan rukun Islam. Rukun Islam yang ke-5 yaitu naik haji menjadi cita-cita seluruh ummat muslim di dunia. Sepertinya ada yg kurang bagi kita jika kita tidak menjalankan rukun Islam yang ini. Tapi dalam menjalankan niat yang baik untuk beribadah haji ini, tidak mudah harus ada upaya dan persiapan yang lebih besar. Selain persiapan secara mental, kesehatan fisik, juga harus ditunjang dengan kesiapan finansial. Mengingat untuk naik haji ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Makanya disebutkan rukun Islam naik haji bagi yang mampu. Walaupun banyak yang menerjemahkan mampu ini bukan sekedar dari finansial melainkan namun mampu yang lainnya juga. Spirit dari ummat muslim untuk beribadah haji ke tanah suci Mekkah, begitu terlihat jelas, dengan antrian daftar haji yang begitu panjang bahkan ada yang mencapai masa tunggu lebih dari dua puluh tahun lamanya. Misalnya umur kita sudah 30 baru daftar haji kemungkin